Medsos alias Media Sosial sanggup sangat berbahaya. Bagi diri sendiri dan bagi orang lain, bahkan bagi keutuhan Negara Bangsa yang sudah digagas oleh para pendiri lebih dari 100 tahun lalu. Maka, alasannya yaitu pengaruh yang masif inilah perlu perhatian dari seluruh elemen bangsa yang berkepentingan di situ.
Bahayanya medsos memunculkan banyak sekali ekspresi dan kebijakan. MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan pedoman wacana media sosial. Sementara Wahyu Kokkang, Kartunis koran Jawa Pos mengekspresikan dengan karya kartun menyerupai ini:
Kartun Clekit dalam Jawa Pos tersebut menggambarkan bahwa Medsos yang ada di gawai (gadget) kita masing-masing menyerupai setan. Setan yang tidak hanya ada dalam gawai, tetapi juga tanduknya hingga keluar di dunia faktual di luar telepon pintar.
Artinya sanggup berbahaya dalam kehidupan nyata. Itu semua alasannya yaitu medsos.
Sebegitu berbahayanya medsos alasannya yaitu semua orang punya alat dan kemungkinan untuk membagikan informasi. Padahal informasi yang dimililiki belum tentu valid. Jika pun itu valid, informasi tersebut hanya dipandang dari satu sudut, tidak komprehensif. Maka sangat mungkin terjadi kesalahan informasi yang bukannya memunculkan kebaikan dan informatif, tetapi justru menjadi alat pengadu domba dan pemecah-belah.
Terlebih orang Indonesia, yang budaya literasinya masih sangat rendah dipaksa oleh keadaan menjadi pelaku tutur tingkat kedua. Budaya Indonesia yaitu budaya lisan atau budaya tutur, masih belum budaya tulis. Karena lambatnya gerakan mengakibatkan orang Indonesia menjadi orang dengan budaya tulis, maka upaya itu sudah didahului kecanggihan teknologi.
Medsos yaitu budaya lisan tingkat kedua. Jika melalui tahapan yang benar, dari budaya lisan, menjadi budaya tulis, gres kemudian menjadi budaya lisan tingkat dua yang diwujudkan dalam bentuk media sosial, maka orang Indonesia tidak akan gampang terhasut, juga tidak gampang menyebar informasi yang belum tentu teruji kebenarannya.
Budaya lisan dengan gampang ngomong dari ekspresi ke mulut, sementara dalam budaya tulis, kebenaran sebuah pernyataan masih sanggup dipertanyakan berulang-ulang sehingga muncul dialektika dengan diri sendiri maupun dengan orang lain dalam diskusi yang sehat.
Apakah terlambat untuk membawa Indonesia menjadi bangsa dengan budaya literasi? Jawabannya tentu saja tidak. Di tengah keengganan kita terhadap budaya tulis, budaya literasi, masih ada bahkan banyak orang-orang dengan sukarela menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya untuk menawarkan sumber bacaan bagi lingkungan sekitar. Ini tidak sanggup dipandang sebelah mata. Ini gerakan ahli yang harus menerima proteksi dari semua pihak, terutama pemerintah.
Upaya penguatan budaya literasi di sekolah juga semakin ditampakkan. Meskipun sebelumnya sudah ada, tetapi tidak dengan istilah literasi. Semua sekolah harus berbudaya literasi semenjak dulu, bukan hanya sekarang. Tetapi dulu tidak memakai istilah literasi.
Lalu, bagaimana menumbuhkan budaya literasi. Sebenarnya sama saja. Intinya hanya baca, pahami, konfirmasi, baca lagi, gres ambil kesimpulan.
Misalnya dalam sebuah media sosial, ada informasi yang sedang heboh. Jika hanya membaca dan mengiyakan satu informasi yang sedang disebar atau diviralkan oleh buzzer ada kemungkinan itu yaitu informasi yang menyesatkan. Maka perlu dikonfirmasi dari sumber yang terpercaya, contohnya situs gosip yang memang memliki kredibilitas.
Dengan demikian, kita akan terhindar dari setan-setan medsos yang ada di dunia maya maupun setan-setan yang mungkin bersemayam dalam diri kita.
Salam Pustamun!
Bahayanya medsos memunculkan banyak sekali ekspresi dan kebijakan. MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan pedoman wacana media sosial. Sementara Wahyu Kokkang, Kartunis koran Jawa Pos mengekspresikan dengan karya kartun menyerupai ini:
Sumber Gambar: www.facebook.com/wahyu.kokkang |
Kartun Clekit dalam Jawa Pos tersebut menggambarkan bahwa Medsos yang ada di gawai (gadget) kita masing-masing menyerupai setan. Setan yang tidak hanya ada dalam gawai, tetapi juga tanduknya hingga keluar di dunia faktual di luar telepon pintar.
Artinya sanggup berbahaya dalam kehidupan nyata. Itu semua alasannya yaitu medsos.
Sebegitu berbahayanya medsos alasannya yaitu semua orang punya alat dan kemungkinan untuk membagikan informasi. Padahal informasi yang dimililiki belum tentu valid. Jika pun itu valid, informasi tersebut hanya dipandang dari satu sudut, tidak komprehensif. Maka sangat mungkin terjadi kesalahan informasi yang bukannya memunculkan kebaikan dan informatif, tetapi justru menjadi alat pengadu domba dan pemecah-belah.
Terlebih orang Indonesia, yang budaya literasinya masih sangat rendah dipaksa oleh keadaan menjadi pelaku tutur tingkat kedua. Budaya Indonesia yaitu budaya lisan atau budaya tutur, masih belum budaya tulis. Karena lambatnya gerakan mengakibatkan orang Indonesia menjadi orang dengan budaya tulis, maka upaya itu sudah didahului kecanggihan teknologi.
Medsos yaitu budaya lisan tingkat kedua. Jika melalui tahapan yang benar, dari budaya lisan, menjadi budaya tulis, gres kemudian menjadi budaya lisan tingkat dua yang diwujudkan dalam bentuk media sosial, maka orang Indonesia tidak akan gampang terhasut, juga tidak gampang menyebar informasi yang belum tentu teruji kebenarannya.
Budaya lisan dengan gampang ngomong dari ekspresi ke mulut, sementara dalam budaya tulis, kebenaran sebuah pernyataan masih sanggup dipertanyakan berulang-ulang sehingga muncul dialektika dengan diri sendiri maupun dengan orang lain dalam diskusi yang sehat.
Apakah terlambat untuk membawa Indonesia menjadi bangsa dengan budaya literasi? Jawabannya tentu saja tidak. Di tengah keengganan kita terhadap budaya tulis, budaya literasi, masih ada bahkan banyak orang-orang dengan sukarela menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya untuk menawarkan sumber bacaan bagi lingkungan sekitar. Ini tidak sanggup dipandang sebelah mata. Ini gerakan ahli yang harus menerima proteksi dari semua pihak, terutama pemerintah.
Upaya penguatan budaya literasi di sekolah juga semakin ditampakkan. Meskipun sebelumnya sudah ada, tetapi tidak dengan istilah literasi. Semua sekolah harus berbudaya literasi semenjak dulu, bukan hanya sekarang. Tetapi dulu tidak memakai istilah literasi.
Lalu, bagaimana menumbuhkan budaya literasi. Sebenarnya sama saja. Intinya hanya baca, pahami, konfirmasi, baca lagi, gres ambil kesimpulan.
Misalnya dalam sebuah media sosial, ada informasi yang sedang heboh. Jika hanya membaca dan mengiyakan satu informasi yang sedang disebar atau diviralkan oleh buzzer ada kemungkinan itu yaitu informasi yang menyesatkan. Maka perlu dikonfirmasi dari sumber yang terpercaya, contohnya situs gosip yang memang memliki kredibilitas.
Dengan demikian, kita akan terhindar dari setan-setan medsos yang ada di dunia maya maupun setan-setan yang mungkin bersemayam dalam diri kita.
Salam Pustamun!